Rabu, 06 Maret 2013

Tumpek Uduh dan Isu Global Warming


Sayangi alam dan tumbuh-tumbuhan demi anak cucu kita.
“…Kaki-kaki, Dadong kija?”. “I Dadong nak gelem...”. “Gelem ken-ken?”, “Gelem nged”.  “Niki, tyang ngaturan bubuh…”. “…Ingetan  nah, Galungan ne buin selai (25) lemeng, …apang nged-ngeeed, ngeed….!

Seorang wanita tua di sebuah desa kecil tampak khusyuk mengucapkan kalimat di atas saat menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan, serangkaian rerahinan Tumpek Uduh yang jatuh pada Saniscara Kliwon, Wariga, Sabtu (2/3) lalu.

Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, penulis tidak mengetahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya. Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …nged…, nged, nged….! Yang berarti lebat.

Seperti diketahui, di beberapa tempat di Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah Tumpek Bubuh (mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada pula yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini jatuhnya persis 25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang menyebutnya sebagai Tumpek Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga. Sementara sebagian masyarakat lagi ada yang mengistilahkan upacara ini sebagai otonan punyan-punyanan.

Terlepas dari banyaknya istilah untuk rahina Tumpek Uduh ini, yang jelas semuanya memiliki tujuan sama, yakni sebagai sebuah ritual atau persembahan untuk mengingatkan umat manusia agar selalu menjaga kelestarian dan keharmonisan lingkungan (sesuai konsep Tri Hita Karana), khususnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber sandang, pangan maupun papan. Dengan lestarinya tumbuh-tumbuhan ini pula diharapkan lingkungan akan tetap ajeg, lestari dan memberi kemakmuran bagi seluruh mahluk yang ada di muka bumi.

Datangnya rahina Tumpek Bubuh ini seakan mengingatkan seluruh Umat Hindu agar bersiap-siap menyongsong Hari Raya Galungan dan Kuningan yang datang 25 hari lagi. Sebagaimana diketahui, banyak keperluan untuk upakara menyambut Hari Raya Galungan yang menggunakan bahan baku dari tumbuh-tumbuhan khususnya untuk majejahitan, metanding banten, atau pun untuk ngelawar. Jadi sangat beralasan jika upacara rahina tumpek ini difokuskan pada tumbuh-tumbuhan.

Kutipan monolog di atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara Sangkara selaku manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-tumbuhan agar melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya saat menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh subur, berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged).

Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya.

Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak. (dey)

Tidak ada komentar: