Suasana Desa Pejeng saat Nyepi |
Pejeng, Suasana
sunyi dan hening terasa sangat mengesankan saat umat Hindu di Bali melaksanakan
catur brata penyepian. Dan, suasana itu pula terasa di wilayah Desa Pakraman
Jero Kuta Pejeng saat Hari Raya Nyepi, tahun baru Isaka 1935, Selasa (12/3).
Jika hari-hari sebelumnya, di wilayah desa pakraman ini
kerap ditemui warga masyarakat yang lalu lalang untuk berbagai keperluan dan
aktivitas, namun pada saat Nyepi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tak
terdengar lagi sorak pengusung ogoh-ogoh, apalagi suara tetabuhan gong balaganjur
seperti pada saat malam pengerupukan. Pasar Desa Pejeng yang biasanya dipadati
pedagang dan pembeli dari berbagai penjuru desa, tutup total. Suara bising knalpot
bronx yang biasanya digeber anak-anak jalanan, pun tak terdengar.
Yang jelas, suasana di Desa Pejeng sejak pagi hingga malam harinya benar-benar
lengang dan hening. Yang nyaring terdengar hanyalah kicauan burung crukcuk,
kukur (derkuku), perit, petingan dan lainnya yang bercengkerama di dahan-dahan
pohon. Kawanan burung tersebut seakan turut
merasakan suasana Nyepi… Mereka bisa bebas terbang dari satu pohon ke pohon yang
lainnya, tanpa takut ditembak. Sementara
itu sejumlah burung kukur tampak terbang rendah, bahkan turun langsung ke
halaman merajan untuk menyantap beras bija, atau nasi sisa segehan yang
berserakan di halaman merajan. Puas menikmati makanan, kawanan burung pun
kembali bertengger di pepohonan sambil sesekali berkicau dengan pasangannya.
“Sungguh, pemandangan yang luar biasa…, langka, unik dan menarik,”
ucap dr. Dewa Oka, yang jauh-jauh datang dari Lombok untuk merayakan libur
Nyepi di kampung halamannya, Pejeng.
Dikatakan, suasana Nyepi di Pejeng benar-benar mengesankan. “Hawanya
sejuk dan segar, karena tak ada asap dari knalpot sepeda motor atau pun mobil.
Suasananya juga tenang dan jauh dari bising. Yang terdengar hanyalah sayup-sayup
kicauan burung di kejauhan. Ini sungguh mengesankan. Lingkungan desa yang masih
lestari,” ujar dr. Dewa Oka.
Apa yang disampaikan dr. Dewa Oka memang benar adanya. Jika dibandingkan dengan
yang sudah-sudah, perayaan Hari Raya Nyepi tahun Isaka 1935 ini di Pejeng, boleh
dibilang ada sedikit peningkatan. Betapa tidak, jika tahun-tahun sebelumnya selalu
diwarnai gesekan-gesekan antar warga
yang mengarah pada bentrokan antar banjar, namun pada tahun ini semuanya
berlangsung sukses, aman dan lancar. Selain itu, pada Nyepi yang sudah-sudah ada
sejumlah warga masyarakat yang melanggar. Mereka, khususnya kalangan anak-anak bebas keluar rumah dan bermain-main di jalanan.
Ironisnya, hal tersebut dibiarkan oleh para orangtuanya. Sejumlah pecalang yang
disiagakan di setiap perempatan desa kala itu, seakan tak bisa berbuat banyak
melihat ulah anak-anak tersebut.
Berbeda dengan Nyepi tahun 2013 ini, suasananya benar-benar “sipeng”.
Saat Nyepi kali ini, hampir tidak
ditemui anak-anak yang bermain di jalanan. Warga pun enggan keluar rumah,
kecuali untuk kepentingan yang mendesak. Sehingga suasana di wilayah Desa Pejeng
saat Nyepi kali ini benar-benar lengang, sunyi dan sepi. Yang tampak dari kejauhan
hanyalah sejumlah pecalang yang berjaga-jaga, sambil patroli keliling desa.
Hal ini perlu dijadikan contoh untuk setiap perayaan Hari
Raya Nyepi pada tahun-tahun mendatang. Ini
pula patut dijadikan momentum untuk menjaga tradisi desa kuno yang telah
termasyhur di mancanegara ini, sekaligus memupuk persatuan dan kesatuan warga masyarakat yang terjalin
harmonis selama ini, demi keajegan Desa Pejeng. (dey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar