Selasa, 19 Maret 2013

Indahnya Nyepi di Kampung Pejeng

Suasana Desa Pejeng saat Nyepi

Pejeng,  Suasana sunyi dan hening terasa sangat mengesankan saat umat Hindu di Bali melaksanakan catur brata penyepian. Dan, suasana itu pula terasa di wilayah Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng saat Hari Raya Nyepi, tahun baru Isaka 1935, Selasa (12/3).

Jika hari-hari sebelumnya, di wilayah desa pakraman ini kerap ditemui warga masyarakat yang lalu lalang untuk berbagai keperluan dan aktivitas, namun pada saat Nyepi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tak terdengar lagi sorak pengusung ogoh-ogoh, apalagi suara tetabuhan gong balaganjur seperti pada saat malam pengerupukan. Pasar Desa Pejeng yang biasanya dipadati pedagang dan pembeli dari berbagai penjuru desa, tutup total. Suara bising knalpot bronx yang biasanya digeber anak-anak jalanan, pun tak terdengar.

Yang jelas, suasana di Desa  Pejeng sejak pagi hingga malam harinya benar-benar lengang dan hening. Yang nyaring terdengar hanyalah kicauan burung crukcuk, kukur (derkuku), perit, petingan dan lainnya yang bercengkerama di dahan-dahan pohon. Kawanan burung tersebut  seakan turut merasakan suasana Nyepi… Mereka bisa bebas terbang dari satu pohon ke pohon yang lainnya, tanpa takut ditembak.  Sementara itu sejumlah burung kukur tampak terbang rendah, bahkan turun langsung ke halaman merajan untuk menyantap beras bija, atau nasi sisa segehan yang berserakan di halaman merajan. Puas menikmati makanan, kawanan burung pun kembali bertengger di pepohonan sambil sesekali berkicau dengan pasangannya.
“Sungguh, pemandangan yang luar biasa…, langka, unik dan menarik,” ucap dr. Dewa Oka, yang jauh-jauh datang dari Lombok untuk merayakan libur Nyepi  di kampung halamannya, Pejeng.

Dikatakan, suasana Nyepi di Pejeng benar-benar mengesankan. “Hawanya sejuk dan segar, karena tak ada asap dari knalpot sepeda motor atau pun mobil. Suasananya juga tenang dan jauh dari bising. Yang terdengar hanyalah sayup-sayup kicauan burung di kejauhan. Ini sungguh mengesankan. Lingkungan desa yang masih lestari,” ujar dr. Dewa Oka.

Apa yang disampaikan dr. Dewa Oka  memang benar adanya. Jika dibandingkan dengan yang sudah-sudah, perayaan Hari Raya Nyepi tahun Isaka 1935 ini di Pejeng, boleh dibilang ada sedikit peningkatan. Betapa tidak, jika tahun-tahun sebelumnya selalu  diwarnai gesekan-gesekan antar warga yang mengarah pada bentrokan antar banjar, namun pada tahun ini semuanya berlangsung sukses, aman dan lancar. Selain itu, pada Nyepi yang sudah-sudah ada sejumlah warga masyarakat yang melanggar. Mereka, khususnya kalangan anak-anak  bebas keluar rumah dan bermain-main di jalanan. Ironisnya, hal tersebut dibiarkan oleh para orangtuanya. Sejumlah pecalang yang disiagakan di setiap perempatan desa kala itu, seakan tak bisa berbuat banyak melihat ulah anak-anak tersebut.

Berbeda dengan Nyepi tahun 2013 ini, suasananya benar-benar “sipeng”.  Saat Nyepi kali ini, hampir tidak ditemui anak-anak yang bermain di jalanan. Warga pun enggan keluar rumah, kecuali untuk kepentingan yang mendesak. Sehingga suasana di wilayah Desa Pejeng saat Nyepi kali ini benar-benar lengang, sunyi dan sepi. Yang tampak dari kejauhan hanyalah sejumlah pecalang yang berjaga-jaga, sambil patroli keliling desa.
Hal ini perlu dijadikan contoh untuk setiap perayaan Hari Raya Nyepi pada tahun-tahun mendatang.  Ini pula patut dijadikan momentum untuk menjaga tradisi desa kuno yang telah termasyhur di mancanegara ini, sekaligus memupuk persatuan  dan kesatuan warga masyarakat yang terjalin harmonis selama ini, demi keajegan Desa Pejeng. (dey)

Tidak ada komentar: