Kamis, 21 Maret 2013

Mantan Bupati Gianyar A.A Gde Putera Meninggal Dunia

(Alm) Anak Agung Gde Putera, SH
PEJENG berduka. Salah seorang putra terbaiknya, A.A Gde Putera, SH., berpulang, akibat terserang penyakit stroke dan komplikasi jantung serta paru yang dideritanya sejak lama. Sebelumnya, mantan Bupati Gianyar periode 1969-1983 ini sempat dirawat di RS Kasih Ibu Denpasar, dan meninggal dunia sekitar pukul 06.20 wita, Kamis (21/3).


Menurut penuturan keluarga, almarhum sebenarnya sudah sakit sejak lama. Walau kondisinya belum pulih benar, namun almarhum selalu menyempatkan diri untuk jalan-jalan ringan sembari menghirup udara segar, tak jauh dari rumahnya. Aktifitas seperti itu sudah menjadi rutinitasnya sejak pensiun sebagai pejabat pemerintah.

Namun pada Selasa (12/3) sore harinya, almarhum mengeluhkan sesak nafas, selanjutnya oleh keluarga dibawa ke rumah sakit. Sempat dirawat selama sehari di RS Kasih Ibu Denpasar, akhirnya almarhum menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 06.20 wita.

Semasa hidup, almarhum yang oleh krama Pejeng akrab disapa Gung Aji Bupati ini dikenal sangat bersahaja, ramah dan akrab dengan seluruh lapisan warga masyarakat. Setelah pensiun sebagai pejabat pemerintah, rupanya tenaganya masih dibutuhkan masyarakat Pejeng. Almarhum pun dipercaya mengemban tugas sebagai Bendesa Pakraman Jero Kuta Pejeng. Selain itu juga  aktif sebagai Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali. Karena jabatan barunya yang cukup lama diembannya (sebagai bendesa), almarhum pun kemudian oleh kalangan krama Pejeng mulai akrab disapa Gung Kak Bendesa.

Sejumlah jabatan penting sempat dijalaninya saat aktif di pemerintahan, seperti Wakil Kepala Bappeda Propinsi Bali, Bupati Bangli, Kepala Bappeda Propinsi Bali, Kepala Dinas Pariwisata Bali, hingga Kelapa BP7 Bali.

Almarhum meninggalkan 2 orang putra dan 3 putri serta 12 orang cucu. Rencananya upacara pelebon akan dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2013 mendatang di setra adat Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng.

Untuk sementara jasad almarhum masih disemayamkan di kamar jenasah RS Sanglah. Mendengar kabar duka ini, sejumlah pejabat pun menyampaikan ucapan belasungkawa. Di antaranya datang dari mantan Bupati Gianyar Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau yang akrab disapa Cok Ace. Karangan bunga pun mulai menghiasi rumah duka, di Banjar Pande Pejeng. (dey)

Selasa, 19 Maret 2013

Indahnya Nyepi di Kampung Pejeng

Suasana Desa Pejeng saat Nyepi

Pejeng,  Suasana sunyi dan hening terasa sangat mengesankan saat umat Hindu di Bali melaksanakan catur brata penyepian. Dan, suasana itu pula terasa di wilayah Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng saat Hari Raya Nyepi, tahun baru Isaka 1935, Selasa (12/3).

Jika hari-hari sebelumnya, di wilayah desa pakraman ini kerap ditemui warga masyarakat yang lalu lalang untuk berbagai keperluan dan aktivitas, namun pada saat Nyepi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tak terdengar lagi sorak pengusung ogoh-ogoh, apalagi suara tetabuhan gong balaganjur seperti pada saat malam pengerupukan. Pasar Desa Pejeng yang biasanya dipadati pedagang dan pembeli dari berbagai penjuru desa, tutup total. Suara bising knalpot bronx yang biasanya digeber anak-anak jalanan, pun tak terdengar.

Yang jelas, suasana di Desa  Pejeng sejak pagi hingga malam harinya benar-benar lengang dan hening. Yang nyaring terdengar hanyalah kicauan burung crukcuk, kukur (derkuku), perit, petingan dan lainnya yang bercengkerama di dahan-dahan pohon. Kawanan burung tersebut  seakan turut merasakan suasana Nyepi… Mereka bisa bebas terbang dari satu pohon ke pohon yang lainnya, tanpa takut ditembak.  Sementara itu sejumlah burung kukur tampak terbang rendah, bahkan turun langsung ke halaman merajan untuk menyantap beras bija, atau nasi sisa segehan yang berserakan di halaman merajan. Puas menikmati makanan, kawanan burung pun kembali bertengger di pepohonan sambil sesekali berkicau dengan pasangannya.
“Sungguh, pemandangan yang luar biasa…, langka, unik dan menarik,” ucap dr. Dewa Oka, yang jauh-jauh datang dari Lombok untuk merayakan libur Nyepi  di kampung halamannya, Pejeng.

Dikatakan, suasana Nyepi di Pejeng benar-benar mengesankan. “Hawanya sejuk dan segar, karena tak ada asap dari knalpot sepeda motor atau pun mobil. Suasananya juga tenang dan jauh dari bising. Yang terdengar hanyalah sayup-sayup kicauan burung di kejauhan. Ini sungguh mengesankan. Lingkungan desa yang masih lestari,” ujar dr. Dewa Oka.

Apa yang disampaikan dr. Dewa Oka  memang benar adanya. Jika dibandingkan dengan yang sudah-sudah, perayaan Hari Raya Nyepi tahun Isaka 1935 ini di Pejeng, boleh dibilang ada sedikit peningkatan. Betapa tidak, jika tahun-tahun sebelumnya selalu  diwarnai gesekan-gesekan antar warga yang mengarah pada bentrokan antar banjar, namun pada tahun ini semuanya berlangsung sukses, aman dan lancar. Selain itu, pada Nyepi yang sudah-sudah ada sejumlah warga masyarakat yang melanggar. Mereka, khususnya kalangan anak-anak  bebas keluar rumah dan bermain-main di jalanan. Ironisnya, hal tersebut dibiarkan oleh para orangtuanya. Sejumlah pecalang yang disiagakan di setiap perempatan desa kala itu, seakan tak bisa berbuat banyak melihat ulah anak-anak tersebut.

Berbeda dengan Nyepi tahun 2013 ini, suasananya benar-benar “sipeng”.  Saat Nyepi kali ini, hampir tidak ditemui anak-anak yang bermain di jalanan. Warga pun enggan keluar rumah, kecuali untuk kepentingan yang mendesak. Sehingga suasana di wilayah Desa Pejeng saat Nyepi kali ini benar-benar lengang, sunyi dan sepi. Yang tampak dari kejauhan hanyalah sejumlah pecalang yang berjaga-jaga, sambil patroli keliling desa.
Hal ini perlu dijadikan contoh untuk setiap perayaan Hari Raya Nyepi pada tahun-tahun mendatang.  Ini pula patut dijadikan momentum untuk menjaga tradisi desa kuno yang telah termasyhur di mancanegara ini, sekaligus memupuk persatuan  dan kesatuan warga masyarakat yang terjalin harmonis selama ini, demi keajegan Desa Pejeng. (dey)

Jumat, 15 Maret 2013

Puluhan Ogoh-Ogoh Semarakkan Malam Pengrupukan


Salah satu ogoh-ogoh meramaikan malam pengrupukan 
Gianyar, Puluhan ogoh-ogoh menyemarakkan malam pangerupukan Nyepi,  di Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng, bertepatan dengan rahina Tilem Kesanga, Senin (11/3). Ogoh-ogoh dalam berbagai rupa dan ukuran itu diarak dengan penuh semangat oleh anak-anak hingga para pemuda (sekeha teruna-teruni) dari empat banjar yang ada.

Sebelumnya ogoh-ogoh tersebut “diplaspas” di masing-masing balai banjar, kemudian secara bergiliran di arak menuju jaba Pura Penataran Sasih, tempat berlangsungnya acara. Parade ogoh-ogoh ini dipusatkan di jaba Pura Penataran Sasih Pejeng, dibuka langsung Bendesa Alit Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng, Cokorda Rai Pemayun.

Dalam sambutannya, Cok Rai Pemayun memberi apresiasi positif atas terselenggaranya parade ogoh-ogoh ini. Menurutnya, berbagai ogoh-ogoh yang ditampilkan dalam parade ini merupakan wujud kreatifitas anak-anak muda pejeng di dalam melestarikan seni dan budaya. “Ini merupakan ajang penyaluran bakat seni dan kreatifitas anak-anak muda  dalam upaya pelestarian budaya daerah,” ucapnya.  Cok Rai juga menekankan kepada seluruh pemuda maupun masyarakat se-Jero Kuta Pejeng bersama-sama menjaga situasi keamanan desa agar tetap kondusif, terlebih pada saat Hari Raya Nyepi. 

Setelah dibuka secara resmi oleh Bendesa Alit Cok Rai Pemayun, parade ogoh-ogoh pun dimulai.  Tampak ribuan penonton memadati areal tempat berlangsungnya acara, persis di depan alun-alun desa Pejeng. Tampil sebagai pembuka adalah STT Yowana Wira Laksana, Banjar Pande. Tepuk tangan penonton pun menggema, begitu terdengar suara gong baleganjur dari sekeha gong  remaja Banjar Pande ini. Selama kurang lebih 20 menit mereka menampilkan berbagai atraksi yang dikemas dalam fragmen tari .
Sebagai peserta berikutnya adalah STT Budi Muditha, Banjar Guliang Pejeng. Seakan tak mau kalah dengan atraksi ogoh-ogoh sebelumnya, sekeha teruna ini pun menampilkan fragmentari yang tak kalah menariknya. Sorak tawa penonton sempat mewarnai saat melihat tingkah polah anak-anak yang turut semangat mengarak ogoh-ogoh.

Yang tak kalah menariknya adalah penampilan ogoh-ogoh dari STT Yowana Kertha Yoga, Banjar Puseh. Sekeha teruna teruni ini menampilkan ogoh-ogoh berupa babi raksasa (bangkal). Tak hanya itu, juga ditampilkan sosok barong serta barong bangkal untuk melengkapi kisah cerita dalam fragmentari yang dipentaskan.

Sementara STT Yowana Dipa Daksina menadapat giliran terakhir, sekaligus sebagai penutup parade ogoh-ogoh. Dalam parade ini, STT Yowana Dipa Daksina juga menampilkan fragmentari disertai para penari remaja putri yang lemah gemulai, sehingga mampu menyedot perhatian penonton.  Sejumlah ogoh-ogoh yang tampil pada kesempatan itu juga menarik perhatian warga masyarakat yang memadati jaba Pura Penataran Sasih. Salah satunya adalah ogoh-ogoh berupa sosok celuluk atau raksasa gundul, tampil mengendarai sepeda antik. Dengan gerak serta goyangan yang kompak dari para pengusungnya, seolah-olah ogoh-ogoh ini tampak hidup, meluncur dengan sepeda pancal tua.

Syukurlah, secara keseluruhan parade ogoh-ogoh tahun 2013 ini terbilang berjalan lancar dan sukses. Tidak ada gesekan atau bahkan bentrok fisik, sebagaimana yang sempat terjadi pada tahun 2012 silam. Yang membuat pelaksanaan parade ini lancar juga tak lepas dari ketegasan pemerintah, termasuk pemerintah desa yang melarang penggunaan mercon atau pun meriam bambU saat pengarakan ogoh-ogoh.  Di samping itu, juga karena ketatnya peredaran miras khususnya arak di kalangan masyarakat akhir-akhir ini.

Namun di balik suksesnya penyelenggaraan parade ogoh-ogoh ini, ada hal yang perlu menjadi catatan, yakni molornya penyelenggaraan parade dari jadwal semula pukul 17.00, menjadi pukul 19.00 wita, sehingga selesainya terlalu malam. Semoga parade ogoh-ogoh di tahun-tahun mendatang bisa lebih sukses lagi. Selamat Hari Raya Nyepi Caka Warsa 1935! (dey)

Rabu, 06 Maret 2013

Ida Bethara Pura Penataran Sasih Melasti ke Pura Tirtha Empul Tampaksiring


Suasana melasti di Pura Tirtha Empul Tampaksiring.
Gianyar-  Suasana di sekitar jalan menuju Istana Tampaksiring hingga Pura Tirtha Empul, Rabu (6/3) pagi tampak dipadati krama desa Pejeng dan sekitarnya, serangkaian upacara melasti. Upacara melasti dilaksanakan seiring usainya karya piodalan di Pura Penataran Sasih Pejeng.

Sejak pagi sekitar pukul 08.00 wita, suasana di sepanjang jalan Raya Ir. Soekarno sudah dipadati krama desa  yang hendak mengikuti prosesi melasti Ida Bethara Sasuhunan dari berbagai desa pakraman di Pejeng dan sekitarnya. Di antaranya ada yang mengendarai sepeda motor, mobil maupun puluhan truk.
Hujan deras yang disertai angin kencang pada pagi itu sempat membuat prosesi nedunang Ida Bethara di Pura Penataran Sasih tertunda beberapa saat.  Setelah hujan reda, baru lah prosesi nedunang Ida Bethara dilangsungkan. Iring-iringan Ida Ratu Bethara Pura Penataran Sasih kemudian diikuti seluruh Ida Bethara Sasuhunan di seluruh Pura-Pura yang ada di Desa Pakraman Jero Kuta Pejeng. Kemudian disusul iring-iringan  Ida Bethara Sasuhunan manca-manca di sekitar Pejeng. Sekitar pukul 09.30, seluruh Ida Bethara  Sasuhunan tiba di Pura Tirtha Empul.

Prosesi iring-iringan Ida Bethara ini sempat menarik perhatian wisatawan. Beberapa di antara mereka bahkan rela berdesak-desakan dengan para pemedek untuk mangabadikan momen tersebut menggunakan kamera digital maupun handycamp nya.

Seluruh Ida Bethara Sasuhunan tiba di Pura Tirtha Empul, prosesi upacara pun dimulai. Seluruh rangkaian upacara ini dipuput Ida Pedanda Gede Buruan, dari Geriya Sanding Pejeng.

Setelah seluruh rangkaian upacara berakhir, Ida Bethara Sasuhunan pun “mewali budal” ke Pura masing-masing. Dalam perjalanan menuju Pejeng, Ida Bethara Pura Penataran Sasih serta Ida Bethara Pura-Pura di Desa Pakraman Jro Kuta Pejeng katuran upacara di sejumlah lokasi di sepanjang Desa Pakraman Tampaksiring. Tampak kaum ibu-ibu beserta sejumlah pemangku di masing-masing lokasi berjejer rapi sambil bersimpuh, ngaturan banten kehadapan Ida Bethara Sasuhunan.

Sementara itu, seluruh krama banjar tampak bersemangat mundut Ida Bethara walau menempuh jarak yang luamayan jauh.  Setelah melalui berbagai prosesi upacara di sepanjang perjalanan, Ida Bethara Sasuhunan se-Jero Kuta Pejeng  baru tiba di Pura Penataran Sasih sekitar pukul 14.10 wita.

“Syukur lah berkat  Ida Bethara Sasuhunan,  seluruh rangkaian upacara pemelastian ini berlangsung sukses dan lancar,” pungkas Bendesa Ageng Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gde Putra Pemayun. (dey)

Tumpek Uduh dan Isu Global Warming


Sayangi alam dan tumbuh-tumbuhan demi anak cucu kita.
“…Kaki-kaki, Dadong kija?”. “I Dadong nak gelem...”. “Gelem ken-ken?”, “Gelem nged”.  “Niki, tyang ngaturan bubuh…”. “…Ingetan  nah, Galungan ne buin selai (25) lemeng, …apang nged-ngeeed, ngeed….!

Seorang wanita tua di sebuah desa kecil tampak khusyuk mengucapkan kalimat di atas saat menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan, serangkaian rerahinan Tumpek Uduh yang jatuh pada Saniscara Kliwon, Wariga, Sabtu (2/3) lalu.

Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, penulis tidak mengetahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya. Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …nged…, nged, nged….! Yang berarti lebat.

Seperti diketahui, di beberapa tempat di Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah Tumpek Bubuh (mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada pula yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini jatuhnya persis 25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang menyebutnya sebagai Tumpek Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga. Sementara sebagian masyarakat lagi ada yang mengistilahkan upacara ini sebagai otonan punyan-punyanan.

Terlepas dari banyaknya istilah untuk rahina Tumpek Uduh ini, yang jelas semuanya memiliki tujuan sama, yakni sebagai sebuah ritual atau persembahan untuk mengingatkan umat manusia agar selalu menjaga kelestarian dan keharmonisan lingkungan (sesuai konsep Tri Hita Karana), khususnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber sandang, pangan maupun papan. Dengan lestarinya tumbuh-tumbuhan ini pula diharapkan lingkungan akan tetap ajeg, lestari dan memberi kemakmuran bagi seluruh mahluk yang ada di muka bumi.

Datangnya rahina Tumpek Bubuh ini seakan mengingatkan seluruh Umat Hindu agar bersiap-siap menyongsong Hari Raya Galungan dan Kuningan yang datang 25 hari lagi. Sebagaimana diketahui, banyak keperluan untuk upakara menyambut Hari Raya Galungan yang menggunakan bahan baku dari tumbuh-tumbuhan khususnya untuk majejahitan, metanding banten, atau pun untuk ngelawar. Jadi sangat beralasan jika upacara rahina tumpek ini difokuskan pada tumbuh-tumbuhan.

Kutipan monolog di atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara Sangkara selaku manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-tumbuhan agar melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya saat menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh subur, berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged).

Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya.

Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak. (dey)

Jumat, 01 Maret 2013

Tarian Sanghyang Jaran Memukau Krama Pejeng


Sanghyang Jaran injak-injak bara api

GIANYAR- Suasana di sekitar jaba tengah Pura Penataran Sasih, Pejeng, Rabu (27/2) malam, benar-benar mencekam. Ribuan krama desa tampak berjubel di wantilan serta duduk lesehan di jaba tengah, menanti pementasan “ilen-ilen” Sanghyang Jaran.  

Dan saatnya pun tiba, waktu menunjukkan pukul 22.15 wita. Sejumlah remaja putri tampak mengusung canang rebong diiringi tetabuhan baleganjur. Iring-iringan remaja putri ini terhenti persis di depan candi bentar, jaba tengah Pura Penataran Sasih. Mereka lalu duduk bersimpuh. Tak lama berselang, sekeha gong Br. Guliang pun mulai menabuh gamelan, pertanda pementasan segera dimulai.

Tampil sebagai pembuka, tarian legong lasem. Penampilan para penari legong lasem yang lemah gemulai, serta dengan gerakan yang kompak membuat para penonton berdecak kagum. Aplaus pun menggema, pertanda penonton puas akan suguhan tarian klasik tersebut.

Setelah itu, tampil sepasang punakawan sekaligus mengantarkan penonton menuju obyek pementasan kisah Sanghyang Jaran ini. Penampilan punakawan ini sempat mengocok perut penonton yang memadati arena pertunjukan malam itu. Singkat cerita, terjadi peperangan sengit antara Dewa Ganna dengan raksasa sakti. Di tengah-tengah peperangan itu lah kemudian muncul Sanghyang jaran diiringan pasukan penari Kecak.

Lampu di sekitar arena pertunjukan tiba-tiba padam, sehingga suasana menjadi kian magis. Sementara suara cak-cak-cak…cak, saling bersahutan. Dilanjutkan dengan melantunkan lagu Sanghyang Jaran tanpa putus-putus. Nah saat itulah penari Sanghyang Jaran kerauhan setelah diperciki tirtha, menari-nari mengelilingi bara api yang tersulut dari sambuk (gundukan sabut kelapa kering). Lagu Sanghyang Jaran yang terus berkumandang membuat penarinya kian kesurupan, menerjang gundukan sabut kelapa yang sedang berkobar itu. Bara api yang menyala itu kemudian diinjak-injak, hingga api berterbangan di sekitar arena pentas, namun tidak sampai mengenai penonton.

Hebatnya, penari Sanghyang Jaran yang bermandikan api itu sedikit pun tidak mengalami cedera atau terbakar.  ‘’Sungguh Luar biasa…’’ ucap para penonton yang sedari tadi tegang menyaksikan adegan demi adegan tersebut.

Setelah bara api tersebut padam akibat terinjak-injak, penari pun akhirnya kembali sadar dari kesurupan. ‘’Saya bersyukur dapat ngayah menari atas restu Ida Bethara Sanghyang yang berstana di Pura Penataran Sasih,’’ tutur I Made Renu, penari Sanghyang Jaran.

Tarian ini menjadi perhatian warga setempat, karena puluhan tahun tidak pernah dipentaskan. Menurut informasi, tarian sakral Sanghyang Jaran ini pernah dipentaskan sekitar tahun 1966 silam. (dey)